kapalvan der wijck cerita rakyat, review film tenggelamnya kapal van der wijck, download film tenggelamnya kapal van der wijck dukun cit, download novel dan film tenggelamnya kapal van der wijck, the sinking of van der wijck 2013 imdb, review film tenggelamnya kapal van der wijck, catatan bidadari kecil tenggelamnya kapal van der wijck, tsarin
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Film yang diputar pada akhir tahun 2013 ini membuat hati saya terkagum-kagum akan keindahan bahasa yang dituturkan. Setting daerah dan adat yang khas, suguhan alam yang tepat dan penokohan yang begitu sesuai dengan aslinya membuat kita bisa turut langsung merasakan suasananya. Film yang diperankan oleh Herjunot Ali sebagai Zainuddin dan Pevita Pearce sebagai Hayati ini cukup banyak membuat saya takjub terutama pesan-pesan moral yang dari keresahan seorang Pemuda, yang sangat ingin mengetahui tentang asal-usul keluarganya. Seorang anak yatim piatu, yang dari lahirnya telah ditimpa oleh kemalangan. Tentang, kisah seorang pemuda yang terbuang, diasingkan oleh tanah kelahirannya sendiri. Lalu, dia mulai menelusuri jejak-jejak sang Ayah. Mencari tau kabar sanak saudara. Memperbaiki hubungan keluarga yang hampir yang berlatar belakang pada tahun 1930-an ini adalah film yang bergenre romance dan religi. Zainuddin, pun memulai perjalanannya menuju Padang, Batipuah. Selain untuk mencari tau asal usul keluarga, Zainuddin juga ingin memperdalam ilmu agamanya. Lalu kemudian tidak sengaja dipertemukan dengan seorang gadis Desa yang terkenal akan keindahannya, cantik rupa dan akhlak, Hayati, begitulah orang memanggilnya. Semenjak pertemuan perdana, Zainuddin dan Hayati ini rupanya saling mengagumi satu sama lain. Lewat tatapan mata, mereka saling mengirim sinyal tanda rasa syukur kepada Tuhan, Takjub, akan keindahan Ciptaan-Nya. Hayati, kecantikan ciptaan alam. Sopan dan lembut tutur katanya. Namun, diapun seseorang yang bernasib sama dengan Zainuddin, yaitu yatim piatu. Dibesarkan oleh pamannya yang sekaligus menjadi ketua Adat di wilayahnya. Hayati, hanya bisa tunduk dan patuh oleh segala aturan dari pamannya itu. Apapun akan dilakukan sebagai bentuk balas berkenalan, Zainuddin dan Hayati semakin akrab. Mulai menunjukkan betapa mereka memang saling mengagumi satu sama lain. Berkabar melalui sepucuk surat. Surat yang sangat berharga, surat yang sangat dinanti. Zainuddin begitu mencintai Hayati, karena hanya dialah seseorang yang tetap setia berkawan dengannya, disaat yang lain membatasi diri. Hanya Hayati lah yang mampu menemani disaat suka maupun luka dan mampu menghargai sekecil apapun pengorbanan segala pengharapan, Zainuddin memilih seorang Hayati untuk menceritakan semua hal. Tentang kekecewaan seorang pemuda yang tidak jelas keturunannya. Pemuda yang hatinya bersih karena dicuci oleh air mata penderitaan sejak lahir bahkan tentang rasa, Zainuddin menyatakan telah jatuh hati kepada Hayati lewat sebuah kalimat indah "Hanya satu pintaku, jangan pernah kecewakan hati yang berlindung kepadamu, Aku mencintaimu".Mendengar hal ini, sang Paman pun murka. Seperti aturan yang dibuatnya sejak dulu, tidak ada seorang lelaki Batipuh yang bisa meminang Hayati termasuk Zainuddin. Maka, diusirlah Zainuddin dari negeri Batipuh, untuk menghindari fitnah dan memadamkan amarah sang Paman. Mengetahui hal ini, Hayati pun memohon, untuk mengurungkan niat Pamannya itu. Namun, Hayati tidak bisa berbuat apapun, aturan tetaplah aturan. Untuk kesekian kalinya, dia masih harus kalah oleh aturan sang perjalanannya, Hayati menemui Zainuddin. Mengucapkan salam perpisahan. Menguatkan, bahwa cinta itu tidak melemahkan dan membuat putus asa. Mengutarakan tentang hati yang telah dipenuhi cinta kepada Zainuddin. Membuat sumpah yang begitu berat. Berjanji akan tetap suci dan menunggu kedatangan Zainuddin kembali untuk meminangnya. Lalu, memberikan azimat berupa selendang sebagai tanda mata sekaligus penyemangat bagi pun berangkat dengan harapan baru yang sebelumnya hampir sirna. Bersama segala sumpah dan selendang yang dia genggam erat dari seorang Hayati. Meninggalkan negeri Batipuh menuju Padang Panjang melanjutkan tujuannya untuk belajar Agama. 1 2 3 Lihat Film Selengkapnya
ReviewFilm dan Drama Jumat, 06 Maret 2015. Review Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Film yang disutradai oleh Sunil Soraya ini mendapatkan respons positif dari banyak kalangan. Film yang angkat dari sebuah novel laris pada zamannya itu menarik perhatian sutradara kebangsaan Indonesia ini untuk menjadikannya sebuah film layar lebar
Directed by Sunil Soraya Produced by Sunil Soraya, Ram Soraya Written by Imam Tantowi, Donny Dhirgantoro, Riheam Junianti, Sunil Soraya screenplay, Buya Hamka novel, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Starring Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahadian, Randy Nidji, Gesya Shandy, Arzetti Bilbina, Kevin Andrean, Jajang C Noer, Niniek L. Karim, Femmy Prety, Dewi Agustin, Rangga Djoned, Fanny Bauty Music by Stevesmith Music Production Cinematography by Yudi Datau Editing by Sastha Sunu Studio Soraya Intercine Films Running time 163 minutes Country Indonesia Language Indonesian Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck is one of Indonesian movie released in 2013 on the theme of love and cultural conflict in 1930’s. The story begins when a young man of Minang descent who lives and grows in Makassar, Zainuddin Herjunot Ali go to Batipuh, Tanah Datar, West Sumatra, in order to know the birthplace of his father and deepen his religious knowledge. Zainuddin’s arrival was not well received by the villagers because of the history of the Zainuddin’s descendant─whose father comes from Minang marry his mother who comes from Bugis. At that time, the structure of Minang people manages the ancestry from maternal lineage. However, Zainuddin strengthens his heart to remain in Batipuh, especially when he met a beautiful girl named Hayati Pevita Pearce. After that, they fall in love and Zainuddin’s descendant was again being the obstacle of their romance. Zainuddin was forced to leave Batipuh because their relationship deemed unfit. However, Zainuddin and Hayati promised to love each other. The problems get bigger when Hayati proposed by a wealthy man of pure Minang descent, Aziz Reza Rahadian. Forced by her family, Hayati accepts the proposal and breaks her relationship with Zainuddin. Zainuddin chooses to leave Minang island and ventured to Java island after his heart had been broken by Hayati. With his talent as a writer, Zainuddin managed to gain fame as well as material happiness. Meanwhile, the destiny between Zainuddin and Hayati did not necessarily stop. Inadvertently, Zainuddin again met with Hayati who has now become the wife of Aziz. As might be expected, their turbulent love then started burning again. This movie is remarkable because each part of the story is described so smoothly. The characters of this movie successfully deliver a deep emotion to the audience. As usual, Reza Rahadian plays impeccably. When Herjunot Ali and Pearce Pevita still seen trying hard to turn their character, Reza Rahadian appears so easy in the figure of Aziz. Pevita Pearce also successfully demonstrated with good acting skills. Although the character of Hayati still feels not so ripe, Pevita capable of displaying the figure of the girl who lived in the 1930’s with the problem of conflict between tradition and her romance with a performance that will be able heartbreaking. However, the strongest performance in Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck clearly comes from Herjunot Ali. Herjunot managed to give a pretty deep emotional touch to his character, reciting poetic dialogues given to his character well and makes the character Zainuddin was so easy to get the sympathy from the audience. Other acting appearances were quite a surprise present from Randy Nidji who recently made his acting debut through, but managed to give the appearance that is so convincing. I recommend this movie because of its epic classy romance which is so hard to find in Indonesian’s movie in recent years. I give four stars to this movie. You have to watch this!

ReviewFilm Tenggelamnya Kapal van der Wijck: Kisah Cinta yang Terhalang Suku 19:55 WIB Arkeolog Temukan Lokasi Tempat Kapal Van Der Wijck Diduga Tenggelam

"Cinta bukan melemahkan hati atau memutus pengharapan tetapi cinta memberikan kekuatan hati dan menumbuhkan pengharapan." Let’s be honest. Saat pertama kali saya mendengar gagasan diangkatnya sastra klasik Indonesia, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, hasil buah karya sastrawan mahsyur Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka ke layar lebar oleh rumah produksi penelur Eiffel I’m in Love, Soraya Intercine Films, rasa skeptis dalam diri membumbung begitu tinggi. Ketakutan pula keraguan ini bukannya tanpa alasan, masih segar dalam ingatan bagaimana kejinya MD Pictures dalam menodai kesucian Di Bawah Lindungan Ka’bah tempo hari. Dengan deretan pemain utama yang belum pula teruji kehebatannya – pengecualian untuk Reza Rahadian, tentu saja – maka saya pun kudu menekan ekspektasi hingga ke titik terendah kala menguji cita rasa dari versi film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Dengan tiada sedikit pun pengharapan untuk film, secara mengejutkan, saya justru terlena kala menyaksikannya. Saya sama sekali tidak menduga akan mengacungkan jempol kepada Sunil Soraya atas upayanya dalam mengejawantahkan karya Hamka ke bahasa gambar dengan begitu memikat hati, terlebih setelah dalam beberapa bulan terakhir tak henti-hentinya saya mencibir. Sekalipun berhiaskan judul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Anda jangan keburu membubuhkan harapan ini akan menjadi film roman akbar selayaknya Titanic. Jangan pula berharap ini akan menjadi semacam The Great Gatsby dengan visual yang meriah memanjakan mata – menilai dari trailer yang sedikit banyak mirip. Sebagai sebuah kisah percintaan klasik, tatanan penceritaan pun tak jauh-jauh dari hubungan asmara terlarang dari dua muda mudi yang disebabkan oleh berbagai perbedaan; semacam Romeo & Juliet atau Sitti Nurbaya, dalam versi lokal. Dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, jalinan asmara yang mengaitkan Zainuddin Herjunot Ali dan Hayati Pevita Pearce menghadapi jalan buntu lantaran terbentur oleh perbedaan adat dan latar belakang sosial. Nyaris mustahil dua anak manusia ini dipertautkan tali pernikahan, terlebih di tengah-tengah usaha Zainuddin memerjuangkan kehidupan asmaranya, muncul seorang pemuda kaya berdarah Minang, Aziz Reza Rahadian, yang turut meramaikan bursa dengan meminang Hayati. Yang pertama terlontar dari mulut usai melahap Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck di layar lebar adalah amboi... betapa eloknya film ini!’. Sunil Soraya yang sebelumnya mengomandoi Apa Artinya Cinta? berhasil membungkam siapapun yang memertanyakan kapabilitasnya dalam mengkreasi ulang karya sastra penting di Indonesia buah karya Hamka ini ke medium layar lebar. Si pembuat film tak sekadar membuat penonton berlinangan air mata secara beramai-ramai akibat jalinan kisah yang mengharu biru serta mengoyak emosi, tetapi juga menyuarakan kembali kritikan sosial, sentilan sentilun, dan pesan bernada reliji dari Hamka yang termasuk dalam poin penting di dalam novel. Inilah yang lantas menjadikan film menjadi kaya pula padat berisi karena tak melulu berujar soal cinta terlarang, namun juga berbincang perihal kondisi sosial, adat dan tradisi di sekitar – dalam hal ini, Minang – yang tersampaikan dengan begitu mengena. Segala puja puji pun patut pula dihaturkan untuk jajaran pemainnya yang mampu berlakon dengan cemerlang. Reza Rahadian seolah tiada menghadapi orangtan berarti kala memerankan sang antagonis yang meredam kebahagiaan Zainuddin dan Hayati. Hanya melalui kehadirannya, nada bicaranya yang menyengat tanpa perlu meletup letup berlebihan, dan sorot mata yang tajam, Aziz terlihat begitu mengintimidasi. Herjunot Ali – yang pada awalnya cenderung disepelekan – memberi performa terbaik dalam karir keaktorannya. Adegan peluapan rasa sakit hati yang menahun dideranya serta perpisahan dengan sang pujaan hati di penghujung film disalurkannya dengan begitu emosional, menyayat hati, dan meyakinkan. Pevita Pearce sebagai Hayati yang lemah tak berdaya dengan pesona kecantikan yang begitu susah untuk ditampik memberi chemistry yang lekat bersama Herjunot dan Reza. Lalu, ada pula kejutan dari Randy, keyboardist Nidji, yang tak dinyana-nyana mampu berolah peran dengan memukau sebagai Muluk, sahabat sejati Zainuddin. Membawakannya secara natural tanpa berlebih-lebihan, Randy dengan mudah mencuri perhatian terlebih tokoh yang dibawakannya sungguh bijak pula humoris. Pun demikian, meski Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck berhasil merebut hati saya dengan mudahnya, bukan berarti tiada yang mengganggu rasa nyaman kala menontonnya. Dalam catatan saya, setidaknya rasa tak nyaman itu bersumber dari pemilihan warna biru untuk Batipuh yang tak sedap untuk dipandang oleh mata, efek visual yang kerapkali masih tampak kasar, dan tembang-tembang dari Nidji yang sekalipun menimbulkan rasa candu namun kemunculan yang kelewat sering tak jarang pula, bukan pada tempatnya terkadang mengganggu. Keputusan untuk tak berlama-lama dengan adegan di atas kapal – termasuk menciptakan ketegangan – pun cukup disayangkan, apalagi mengingat bahwa Soraya telah susah payah membangun set kapal. Hanya selewat, tak meninggalkan kesan. Untungnya, ini hanya berada di barisan minor yang tak berpengaruh signifikan kepada kualitas film secara menyeluruh. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck masih mampu berdiri tegak gagah perkasa berkat kekuatan dari jalinan kisahnya yang terangkai dengan begitu indah, menggugah emosi serta mengharu biru, lakon-lakon yang cantik dari departemen akting, lalu ini pun masih dipadukan dengan sinematografi yang aduhai dan tata produksi yang terbilang megah mewah untuk ukuran film Indonesia. Sungguh mengesankan. Outstanding vKAkBu.
  • 0mb0okxhfd.pages.dev/261
  • 0mb0okxhfd.pages.dev/242
  • 0mb0okxhfd.pages.dev/147
  • 0mb0okxhfd.pages.dev/391
  • 0mb0okxhfd.pages.dev/104
  • 0mb0okxhfd.pages.dev/137
  • 0mb0okxhfd.pages.dev/291
  • 0mb0okxhfd.pages.dev/279
  • 0mb0okxhfd.pages.dev/271
  • review film tenggelamnya kapal van der wijck